Ting-ting (pesan masuk)
Tara : Ngopi yuk
Freya : Ngga ah, males, panas
Tara : Kujemput ya, please?
Freya : Ogah ah, tetep aja naik motor kepanasan
Tara : Siap-siap ya, 10 menit lagi meluncur ke kosanmu
Dih, dibilang
ngga mau juga maksa. Kesal aku melemparkan handphone
ke atas tempat tidur dan mengarahkan kakiku yang sebenarnya malas meladeni
ajakanmu ini ke lemari pakaian untuk bersiap-siap. Ya, inilah aku dengan
kebiasaanku yang tidak pernah bisa menolak permintaanmu dan kamu dengan perangaimu
yang selalu antipati terhadap penolakanku. Selalu kamu pemenangnya. Bukan
panasnya mentari kota ini yang membuatku malas menanggapi ajakanmu, bahkan
sebenarnya aku selalu menantikan waktu untuk bisa menikmati wajahmu, celotehmu
dan menikmati kebersamaan kita apapun aktivitasnya. Bahkan aku menggilai aroma
tubuhmu dalam berbagai aktivitas, karena kamu tetap wangi sih, siapa juga yang
mau membaui bau asem keringat setelah futsal?
Anehnya tidak seperti teman priaku yang lain, kamu selalu wangi, bahkan kamarmu
pun termasuk rapi dibandingkan kamarku yang acakadut ini. Hal yang membuat aku
malas adalah topik yang sudah hampir sebulan ini tidak pernah berubah dari
dirimu Ra, topik tentang gebetan barumu. Stok lama sih katamu dan aku pun
pernah mengenal sosoknya, dia yang dulu mengacuhkanmu tetapi entah mengapa akhir-akhir
ini dia mulai merespon minatmu terhadap dirinya.
Handphone-ku mulai berdering dengan ringtone
yang aku setting khusus untukmu.
Beberapa kali hanya ada panggilan-panggilan singkat, menunjukkan ketidak
sabaranmu dan aku memang sengaja tidak merespon, soalnya lagi malas, kalau kamu
yang butuh ya kamu yang menunggu. Bukan begitu Ra? Inginnya membuatmu menunggu
satu jam di luar, apa daya hanya selang 5 menit aku sudah siap di hadapanmu
sambil membawa helm pribadiku.
“Yah, kok ga
dandan sih, biasa banget polesannya” protesmu melihat tampilanku yang mungkin
seperti orang baru bangun tidur, padahal ya sudah dipoles sedikit bedak dan
cukup sempat memulas lipgloss andalanku.
“Udah deh
cerewet, suruh siapa kasih waktu cuma 10 menit, mana ada bisa menor 10 menit,
jadi ngga nih, kalau ngga aku masuk lagi” gusarku, sudah bagus aku mau nurutin
kamu Ra.
“Iya, iya,
tumben galak, belum waktunya datang bulan kan hahahaha” candamu sambil
mengejarku yang sudah menuju tempatmu memarkir motor. Sedekat itukah kita Ra
sampai jadwalku datang bulan saja kamu hapal, ya enak sih soalnya aku teratur,
kalau engga, mana kamu tau kan.
Duduk di boncengan
motormu ini sebenarnya sedikit menyiksa, karena angin dengan seenaknya bisa
membuat hidungku penuh dengan aroma tubuhmu dan otakku akan selalu mengingat
bau ini Ra, sampai kapanpun. Kuletakkan tas kanvasku di antara kita untuk
meminimalisir kontak fisik akibat guncangan-guncangan yang ditimbulkan motor
ini saat menghadapi jalan tidak rata. Ya tidak munafik sih Ra, sejak aku
merasakan rasa sayang yang berbeda, sentuhan sekecil apapun darimu menimbulkan
getaran yang aku tidak suka dan membuatku tidak nyaman. Padahal sejak awal
pertemanan kita mau uwel-uwel rambut
atau noyor pipi bukanlah hal yang
asing bagi kita berdua. Kamu mungkin sudah lupa saat kota pelajar dan kota
budaya ini pernah diguyur hujan deras plus petir yang bahkan membuat baliho di
depan perempatan fakultas Magister Manajemen dan beberapa pohon di sekitar
fakultas kehutanan tumbang di saat itu pula kamu pertama kali menangis
sejadi-jadinya. Kalau di komik-komik mukamu sudah seperti pelakon yang
hidungnya penuh ingus bercampur air mata kali ya Ra hehehe. Saat ini aku mudah
mentertawakan momen itu, tetapi di waktu itu saat kamu mulai sesenggukan di bahuku
dan tidak sengaja pada saat menoleh aku malah mencium ubun-ubunmu sekedar untuk
memberi kekuatan. Ternyata hal itu malah membuat aku bergetar dan menahan diri
kuat-kuat untuk tidak memelukmu untuk memberikan kekuatan padamu bahwa kamu
baik-baik saja meskipun Anin meninggalkanmu untuk pria yang secara umum
dipandang sudah mapan dan pindah ke kota lain mengikuti suami barunya itu.
“Mau nyuci
helm sekalian ga? Mumpung sepi tuh kayanya” ujarmu membuyarkan lamunanku,
ternyata kita sudah memasuki parkiran motor basement
mall ini.
“Iya, boleh
deh, bayarin tapi ya, aku lagi bokek”
“Wuuu maunya”
“Ya maulah, wong ditraktir yo mosok nolak” sahutku sambil
meletakkan jaket di jok motor dan membawa helm ke arah pencucian helm tanpa
menunggu repetanmu selanjutnya. Aku
selalu suka bau helm baru dicuci, dulu kamu mana mau Ra ikut-ikut, tapi setelah
beberapa kali melihatku akhirnya malah kamu yang jadi rutin cuci helm. Coffee shop tempat biasa kita mangkal terletak
di lantai dasar mall ini. Siang ini
tidak terlalu ramai, meskipun sebenarnya tergoda aroma bakso saat menaiki
eskalator ke atas, aku menahan diri untuk ikut saja ngopi seperti ajakanmu.
Aku sudah
cukup terbiasa dengan istilah-istilahmu, kalau “ngopi yuk” ya artinya kamu
ingin ke tempat yang tenang untuk bisa ngobrol dalam waktu beberapa lama tanpa
gangguan suara-suara dari lingkungan sekitar. “Jalan yuk” artinya adalah
mencari tempat yang sedikit jauh untuk refreshing
entah kamu yang pilih atau aku yang penting tidak di pusat perkotaan, biasanya
sih ke bukit atau pantai pilihannya, kalau rajin dan ada kelebihan bensin ya
sekalian hunting makanan ke kota
sebelah. “Nongkrong yuk” artinya ke mana saja yang ramai sekalian bisa puas
melihat tingkah laku orang dengan pose seenak kita entah cuma sekedar ke
angkringan belakang stasiun atau ke tempat-tempat yang katanya didatangi anak
gaul kota berhati nyaman ini. “Makan yuk” artinya ya makan besar memuaskan
hasrat lapar kita. Sekarang kamu kodenya adalah ngopi bukan makan, jadi ya rasa
ingin makan itu bisa ditunda nanti saat pulang aku akan bungkus untuk makan
malam. Pojokan favorit kita belum terisi, ya memang siang ini mall tampak cukup sepi entah karena matahari
yang sedang gahar atau karena memang mendekati akhir bulan entahlah.
“Ze udah mau
aku ajakin keluar loh Frey” ujarmu membuka pembicaraan setelah mba-mba waitress yang ramah membawa pesanan kita
untuk dibuat.
“Oia, trus?
Cuma gitu aja sampai perlu ajakin aku panas-panas keluar? Rugi deh kemaren facial kalau begini” sahutku tanpa bisa
mengurangi level ketus, ya mau bagaimana lagi, namanya juga lagi kesal.
“Kamu kenapa
sih, jangan gitu dong. Temennya lagi seneng kok situnya suntuk aja. Jadi,
gimana Frey?”
“Apanya yang
gimana?”
“Ya menurut
kamu gimana, dilanjutin apa engga?”
“Yaelah,
lewat whatsapp aja kali kalau nanya
begituan doang”
“Kamu
kesambit apa sih? Ga enak lewat chatting
pengennya sambil ngopi. Udah ah, gimana, kecepetan ngga kalau aku ajakin Ze dinner romantis?”
“Ra, yang
lebih ahli masalah cewek tuh kan kamu, masa kamu mau nurunin standar pake nanya
segala ke aku?”
“Hahaha, asemm kowe ki, tapi aku beneran serius
iki, pengen referensi dari kamu enaknya kemana ya ngajakin anak satu ini. Lama
bisa dapetinnya masa cuma di bawa ke angkringan?”
“Ya udah bawa
aja ke coto Makasar di Krasak itu…makasih mba” jawabku asal sambil mengambil
gelas racikan kopi yang dibawakan waitress
dan menggeser nomor meja yang ada, supaya piring berisi beef Lasagna pesananku bisa mendapatkan
posisi yang pas.
“Kamu nih
ngawur, masa di bawa ke warung” balasnya sambil juga mulai sibuk dengan sandwich dan potato fries miliknya.
“Ya kenapa
mesti ribet sih Ra, just be yourself,
dia yang bakalan jadi cewekmu kan semestinya juga semestinya juga nyaman dengan
kesukaanmu dan paling ngga taulah kemana tempat-tempat favoritmu”
“Gitu ya?”
Tara melemparkan pertanyaan retorik dan sekilas nyengir ke arahku.
“Kamu nih ga
jelas, tapi selama ni makanan di bayarin aja ya gapapa sih, boleh tambah
bungkus bakso di bawah ga ntar pas pulang?” ketusku lagi. Diapun tertawa sambil
mengabaikan nada jengah yang kulontarkan padanya.
“Beres, boleh
lah itu”
“Lah tumben
baik ngga pake perhitungan, biasane medit
puol”
“Hahahha
dasar kamu, masih ga percaya aja, temenmu yang satu ini kan baiknya tiada
terkira hahaha”
“Pret ah,
ge.er”
“Lagian Frey,
masa kamu ga pengen toh diajakin seneng bareng, ga tau kenapa aku seneng banget
sama yang sekarang ini. Pengen aja ditemenin kamu kalau lagi seneng. Kalau aku
ajakin pas aku dangdut kan kamu ntar bosen lama-lama. Hahahaha”
Selama dua
jam kemudian aku hanya mendengarkan kisahmu dengan Ze ini. Betapa kamu menyukai
setiap hal kecil yang dilakukannya sebagai bentuk perhatian, betapa dia sangat
kewanitaan tanpa membuatmu merasa risih meskipun terkadang sifat manjanya
keluar tetapi malah membuatmu menuruti perkataannya, betapa kamu selalu ingin
berada secepat mungkin di sampingnya saat dia membutuhkanmu, betapa kamu
bagaikan mendapatkan rejeki nomplok saat Ze memberikan respon positif sekian
lama kamu melemparkan jaring-jaring rayuanmu. Dan berbaris-baris betapa-betapa
lainnya yang semakin kamu ceritakan dengan ekspresimu yang seperti anak kecil
mendapatkan keinginannya semakin membuat dadaku terasa menyempit. Dan seakan
aku semakin sebal dengan kelemahanku tidak bisa menolak keinginanmu untuk
berbagi kebahagiaanmu. Ya gimana ngga sebel Ra, semua hal yang dilakukan sama
Ze sudah pernah aku lakukan bahkan lebih, aku mengenalmu lebih lama, aku selalu
ada di sisimu tanpa kamu harus berusaha susah payah.
Tidak pernah
kan mau menyadari kalau menyebalkan itu adalah saat dia hanya pernah sekali
menjemputmu di bandara tapi kamu merasa itu hal yang hebat sementara sudah
berapa kali aku yang jemput kamu bahkan pernah saat kamu dari Jakarta
menggunakan bis malam aku harus menjemputmu subuh-subuh di tepi ringroad? Seorang anak gadis menunggu
matahari terbit di pinggir jalan hanya untuk menanti anak lelaki yang mungkin
tidak menyadari bahwa anak gadis ini yang selalu ada dalam setiap kejadian
berarti dalam hidupnya. Hhhhffttt, sudahlah, aku tak akan membiarkan diriku
membuat daftar yang lebih panjang lagi mengenai keberadaanku di sampingmu,
karena itu akan membuatku semakin kesal dan terus merutuk.
Ting-ting
(pesan masuk)
Tara :
Baru dapet telpon lagi J
Freya :
Harus ya tiap di telpon sama pacarnya laporan ke aku???
Tara :
Bukannnlah Freya!
panggilan wawancara terakhir
Freya :
Ooohh…selamat yaa
Buat kapan?
Tara :
Besok lusa, besok aku berangkatnya
Udah dapet flight pertama, biar malemnya bisa kencan sama Ze dulu :p
Freya :
wish u luck ya Ra
Salam buat Ze
Tara :
Doain ya Frey
I want it much, I do really, really want it
Freya :
Pastilah
Kalau ntar udah dapet gaji gede, jangan lupa
mampir kesini ya Ra
Tara : Pasti mbokdhe, dah kangen banget karo tengile kowe
Panggilan
terakhir yang kamu pintakan juga doa dariku ini Tara, tidak membutuhkan waktu
lama untuk mengetahui akhirnya kamu diterima. Akhirnya impianmu untuk bekerja
di ibukota agar dapat lebih dekat dengan Ze (ya, ini hubungan terlama dan
terseriusmu dengan seorang wanita, congrats)
akan dapat terwujud pula. Kalian semakin mendekat sementara entah kamu sadari
atau tidak, aku semakin menjauh darimu. Bukan hanya soal hati, karena ada
pepatah yang mengatakan bahwa hati tak pernah berjarak, but hei itu cuma hatiku. Memang saat ini aku diterima di salah satu
perusahaan pertambangan yang besar di Borneo ini, di salah satu kota yang juga
memiliki kenyamanannya sendiri. Kebanggaan dan antusiasme yang kamu dan
keluarga berikan saat aku mulai menuju kota ini agak sedikit tercemari oleh
niatku yang pergi bukan untuk sekedar bekerja menerapkan ilmu membahagiakan
orang tua seperti yang dicita-citakan oleh sebagian besar para pencari kerja.
Aku hanya ingin jauh darimu, aku bosan menemanimu membagi kebahagiaanmu, meski
sesungguhnya aku tak ingin kehilangan cerita tentangmu, tidak ingin tidak
menjadi bagian dari kisah hidupmu.
“Mba Freya,
baru pulang? kok pulangnya malem terus mba akhir-akhir ini?” sapa Yanies salah
seorang teman kosku saat melihatku melintas menuju dapur untuk melihat stok
cemilan apa yang masih ada di dalam kulkas.
“Iya, Nies,
lagi ada deadline. Ibu managernya akhir minggu ini kudu ke
Jakarta, makanya pada di genjot biar beres sebelum dianya berangkat”
“Capek ya
mba?”
“Sedikit sih,
capeknya ketutup sama bisa gaul bareng orang-orang pinter, tapi stress juga
hahahaha” aku tertawa miris sambil
mengambil egg tart yang kubeli 2 hari
lalu dan belum menunjukkan tanda-tanda bau saat kuendus, lumayanlah buat
nyemil.
“Ih mba nih,
bikin iri mulu, dah pinter, cantik, rajin pula”
“Oke, kamu
mau ditraktir apa nih dah muji-muji kaya begitu” aku yang ke-ge-er-an mendekati
Yanies yang masih anteng duduk di ruang tv di sebelah dapur.
Ya itulah kenapa
akhirnya pilihanku jatuh di tempat kos ini meskipun jalan masuknya sedikit
curam dan agak sepi kalau sudah malam. Selain pemiliknya yang baik dan isi
kamar yang sudah lengkap, keadaan kos ini seperti rumah yang lengkap dengan
segala isinya bahkan dapurpun ada beberapa lemari kecil dimana para penghuni
kos bisa menyimpan perlengkapan masaknya tanpa tercampur yang lain. Meskipun
tidak menyediakan seorang pembantu untuk beberes tidak masalah bagiku karena
sudah terbiasa juga kos di kota pelajar kesayanganku itu. Lagipula dari 8
penghuninya yang kebanyakan sudah pekerja mereka tampaknya manusia pemerhati
kerapian dan salutnya bahkan kamar mandi tidak memerlukan tempelan kertas
berisikan bermacam-macam himbauan untuk memperhatikan kebersihan maupun
membersihkan sesuai panggilan hati tetapi keadaannya tetap bersih dan wangi.
Itulah yang membuatku memilih tempat ini dari awal dan segudang kegiatanku
tidak membuatku melalaikan sosialisasi dengan penghuni yang lain meskipun
mereka juga tampaknya bukan tipe yang ikut campur urusan orang lain, yah paling
tidak bisa merasakan kekeluargaanlah di kota orang. Toh kalau ada apa-apa
dengan diriku, semoga tidak, ya mereka duluan yang akan tahu dan bisa kumintai
tolong bukan?
“Udah makan
mba?” tanya Yanies membuyarkan kekagumanku terhadap tata ruang kosan ini.
“Belum sih,
tapi masih kenyang, tadi makan siangnya agak sore” ya bagimana bisa makan siang
tepat waktu kalau jam makan siang kami masih terjebak rapat dan makanan
prasmanan yang sudah tersedia sebagai konsumsi rapat seakan tidak bisa
mengalahkan keseriusan proyek yang sedang berlangsung sekarang ini. Untungnya
cemilan yang tersedia bukan cemilan ecek-ecek tapi kelas berat juga, jadi
lumayanlah sebagai pengganjal perut.
“Jangan suka
telat ah mba, kasian perutnya, tuh mba Erni baru aja kumat penyakit maagnya” tuturnya yang sepertinya tulus
mengingat Yanies juga merupakan seorang perawat di rumah sakit terkenal yang
posisinya juga tidak terlalu jauh dari kos ini.
“Iya, iya
sus, baiklah, nanti kalau ada apa-apa obati saya ya sus” godaku.
“Hahaha mba
ini malah becanda. Eh, mba, aku liat di lemari ruang tengah itu kok paketannya
masih ada. Belum dibuka?”
“Paket apa?”
“Kayanya buat
mba deh, aku sempet lihat sekilas, udah dari kemaren sore loh”
“Oh gitu ya?
Coba kulihat” kataku sambil melangkah menuju lemari yang membatasi antara ruang
tamu dan ruang tv. Aku melihat ada kotak kecil berukuran setengah folio
terbungkus kertas coklat yang memang benar bertuliskan namaku dan kemudian
dadaku terasa penuh dengan udara sehingga aku agak kesulitan menarik napas saat
melihat nama pengirimnya.
“Iya Nies, bener,
buat aku, ke kamar dulu ya, thanks
sudah kasih tau. Kalau engga bakalan sampai bulukan disitu terus hehehe”
pamitku pada Yanies berusaha tampak wajar.
“Ok mba,
sama-sama, aku masih mau nonton dulu” padahal dia sebenarnya memiliki televisi
sendiri di dalam kamar, entah kenapa malah lebih senang menonton di televisi
umum. Bagiku malah menguntungkan karena kosan jadi tidak terasa sepi.
Sesampainya
di kamar kubuka kotak itu yang ternyata di dalamnyapun masih dilapisi lagi
dengan kertas kado berwarna hijau. Pasti bukan kamu Ra yang membungkusnya, ada
campur tangan wanita yang mungkin tak perlu disebut siapa oknumnya. Kubuka
perlahan selotip yang membungkus rapat lapisan kotak itu. Ada sebuah cardigan rajutan dari bahan wool yang sangat lembut berwarna hijau army. Namun bukan itu yang menjadi fokus
perhatianku, karena di atas cardigan itu
tampak ada foto kalian berdua Ra dan sebuah flashdisk
mini berwarna hijau yang disemat dengan rapi agar tidak merusak foto maupun cardigan itu sendiri. Foto kalianpun
bernuansa hijau, kalau meminjam istilah teteh Syahrini, terpampang nyata cetar
membahana menampakkan senyum dan pose yang tampak mesra. Foto dengan editan
tulisan ucapan selamat ulang tahun dan beberapa kalimat pengharapan yang umum
diucapkan kepada mereka yang sedang berulang tahun. Norak!!! Jeritku dalam
hati.
Bahkan warna
favoritku yang tersebar di antara setiap barang kirimanmu tidak dapat menahan
air mata ini untuk tidak mengalir membasahi pipi. Entahlah, dia tak ingin
berhenti meskipun aku tak menginginkan rasa asinnya terasa di bibirku. Air
mataku mungkin hanya ingin membantu meringankan kesesakan hati ini tanpa harus
membuat tenggorokan lelah menjerit. Air mata adalah media sederhana yang mampu
mengurai pedihku saat ini.
Ulang tahunku
sudah lewat dua hari yang lalu dan kamu tidak mengatakan apa-apa tentang paket
ini. Kejutan yang norak Ra, sangat norak. Bahkan akupun terkejut sendiri dengan
hembusan napasku yang rasanya lebih keras dibandingkan lenguhan sapi sedang
kepanasan. Tidak cukup kamu kalian menyiksaku dengan foto kemesraan kalian,
masih ada ucapan lain yang kalian berikan lewat flashdisk yang ternyata berisikan video singkat tentang doa-doa
kalian untukku. Pernyataan rindu kalian padaku dan lagu ucapan selamat ulang
tahun yang dinyanyikan Ze diiringi gitarmu diselingi foto-fotoku di masa lalu
saat kita masih ada di kota kenangan itu. Salahkah kalau aku muak? Siapa yang
harus kusalahkan atas rasa ini? Tak adil memang kalau aku membenci kalian atas
kondisiku saat ini. Ingin aku keluar dari lingkaran ini yang sepertinya tak
berujung dan hanya aku pemeran utamanya. Namun kalau aku pergi, aku takut
sedihnya kehilanganmu akan lebih perih dibandingkan rasa cemburu ini.
Semilir aku
mendengar sudah ada kegiatan yang dilakukan di dapur, otomatis kulirik jam di
dinding, tapi kurasakan kelopak mataku berat, tak ingin bekerjasama menuruti
perintahku untuk segera terbuka. Lampu masih menyala, laptop masih terbuka di sisi bantalku, foto ucapan kalian masih
tergeletak di lantai dan cardigan hijau
itu masih tertata rapi di kotaknya belum tersentuh. Kuraba pipiku yang bahkan
tanpa menggunakan krim malam masih terasa lembab bekas jejak air mata dan
telapak kaki yang terasa dingin karena selimutku masih terlipat di tempatnya
tidak terpakai olehku tadi malam. Entah berapa jam aku menangis dan merutuki
hal yang kalian rasa baik tetapi pada kenyataannya sangat menyiksaku sampai
akhirnya jatuh tertidur. Masih tertinggal rasa sesaknya, yang aku inginkan
hanyalah udara segar, bukan di kamar yang saat ini rasanya sedang tidak
bersahabat denganku. Untungnya hari Sabtu ini aku tidak perlu lembur lagi.
Tuhan masih baik tidak membuatku harus berkutat dengan pekerjaan di tengah
kekalutan pikir dan mata sembab.
Kuputuskan
untuk pergi ke pantai yang terletak di belakang rumah. Ya, kamu sudah pernah
melihatnya dari video call kita, dan
kamu sangat iri sampai selalu bersumpah akan menjengukku di kota ini yang tentu
saja belum terlaksana sampai saat ini. Mungkin kamu terlalu sibuk dengan Ze-mu,
terlalu sibuk menata impian kalian di tengah riuhnya ibukota.
“Mau kemana
mba pagi-pagi gini?” ternyata Anin yang sudah sibuk di dapur dengan beberapa
bahan masakan tersedia di depannya menunggu untuk diolah.
“Pagi Nin,
mau cari seger ke pantai”
“Mba lembur
tadi malem?” tanyanya saat aku melintas ingin berbasa-basi melihat masakannya.
“Engga tuh,
kenapa?” jawabku sambil balas memandangnya yang tentu saja merupakan langkah
salah yang tidak kusadari karena sembabnya mataku semakin jelas tampak olehnya.
“Itu mbak
matanya mbendul banget” terangnya
dengan logat Jawa Timur yang masih kentara.
“Oh, tadi
malem nyelesain serial aja, kan udah lama ga ada kesempatan nonton. Kok kamu
pagi-pagi udah masak? Ngga libur?” jawabku sekenanya sambil mengalihkan
pembicaraan.
“Hehehe, mau
ke pantai mba sama abang nanti siang, mau hemat jadi bawa lauk sendiri”
“Seru dong,
ya udah aku ke pantai belakang dulu ya, mumpung
masih seger udaranya. Ati-ati ntar weekendannya” pamitku menyudahi
basa-basi ini.
Sebenarnya
pantai yang kumaksud tidak persis berada di belakang kosan, karena masih
membutuhkan waktu sekitar 5 menit melintasi beberapa gang dan sebuah lapangan
yang tidak terlalu luas sebelum
menyeberangi kantor polisi sebagai pembatas antara jalan raya dengan
restoran-restoran yang ada di pinggir pantai mungil dan bersih ini. Masih sepi,
hanya agak jauh di ujung terlihat ada beberapa anak kecil berlarian dan bermain
pasir ditemani orang tua mereka. Aku melepas sandal jepitku dan merasakan
lembutnya pasir semi putih menenggelamkan telapak kakiku. Batang pohon kelapa
yang tumbang tak jauh dari bibir pantai menjadi sasaranku. Kuletakkan pantatku
dan kuselonjorkan kaki sambil memandangi batas antara laut dan cakrawala.
Menikmati tarian ombak yang digerakkan oleh angin yang sama yang membelai
tubuhku. Sesekali dinginnya air laut menyentuh ujung kakiku bila sang angin
cukup kuat membawa ombak menuju tempatku duduk saat ini.
Tadi saat
berangkat, hanya satu tujuanku ke pantai ini, untuk berteriak sepuas-puasnya
setelah semalam hanya bisa menangis dalam diam. Namun entah mengapa saat
menikmati pasir, angin, langit, air laut dan sesekali suara burung diselingi canda
tawa anak-anak membuatku tidak bergairah lagi mewujudkan teriakan pelepas
dahaga itu. Memandang luasnya perpaduan langit dan laut membuatku merasa bebas dan
lega seketika, seakan-akan tangisan dan kekesalan yang semalam membuat dada ini
sesak tak ada artinya lagi. Bukan salahmu kamu tak pernah menyadari bahwa ada
aku yang selalu mengasihimu Ra, memahamimu dengan segala kelemahanmu,
mendukungmu dengan segala kelebihanmu dan menunggumu entah sampai kapan.
Menunggu yang pasif dan aku lupa bahwa ada sisi yang tidak bergerak selama aku bertumbuh dan
berkembang dalam naungan waktu. Aku menyelesaikan sedikit demi sedikit
rencana-rencana hidupku, tapi tidak pernah menyelesaikan tentang kamu dalam
hidupku. Entah karena aku terlalu pemalas untuk menjelaskan keberadaan cintaku
atau aku terlalu takut kehilanganmu, bila kamu tahu cintaku itu ada.
Salah satu
titik, yang entah ada seberapa jauhnya, di bentang garis cakrawala kemudian juga
menyadarkanku bahwa garis itu tak pernah ada. Langit dan laut tidak pernah
bertemu, meskipun mereka tampak syahdu dan berpadu dengan kompaknya membentuk
cakrawala. Laut tidak pernah mampu menghantarkan ombaknya menyentuh langit dan
seolah tak lelah menggelorakan semangat bertemu keindahan langit. Sebaliknya
langit hanya mampu menghantarkan berkas mentari untuk memberi laut kehangatan
semu padahal ia sendirilah yang memiliki dan memeluk mentari. Kisah langit dan
laut ini yang paling logis bagiku saat ini, kisah inilah yang mencabut segala
resahku tapi tetap meninggalkan pola yang sama ketika aku mulai meraih handphone dan mengirimkan pesan padamu.
Freya : Makasih kadonya, udah nyampe,
niat banget sih buat begituan, ga ada yang lebih elit lagi apaa??? ;) tx
anyway, salam buat Ze, suaranya enak…Happy
weekend…
Aku tak mengharapkan balasanmu,
karena ini masih pagi dan toh itu hanya ucapan terimakasih sekedar basa-basi,
aku masih sopan kan Ra?
Ting-ting (harapanku salah
karena pesan balasan darimu sampai dengan seketika).
Tara : Lama amat nyampenya, kirain ilang itu paket :D
Freya : Iya, baru sampe semalem (dengan
malas aku memaksa jemari ini mengetik balasan)
Tara : Dipake ya, susah loh cari tuh cardigan
Freya : Duh, maksa, liat ntar deh kalau
niat (niatku adalah tak akan pernah memakainya)
Tara : Pake pokoknya!!!!!
Freya : Iya, iya, cerewet, cewe banget
sih cerewetnya (agar pembicaraan ini segera selesai)
Tara : Good, mau tidur lagi ya, mumpung
masih pagi :D sambung ntar, bye
Sentuhan angin kemudian
membuaiku kembali untuk menatap langit, mengalihkan mataku dari picture profilemu yang semakin mesra
bersama kekasihmu. Aku masih ingin mempertahankan kelegaan ini sambil melihat
namamu yang terukir di pasir perlahan menghilang terusap belaian sang ombak.
****6 bulan
kemudian****
Tidak banyak
yang berubah dari kota ini selain kemacetannya yang bertambah dan aku yang
sendiri tanpa ditemani kamu. Disini, di kota ini, di coffee shop di kursi pojok favorit kita, aku kembali lagi. Tidak
untuk waktu yang lama, hanya sekedar ditugaskan mengikuti pelatihan dari
perusahaan tempatku bekerja. Sebisa mungkin aku memagari diri tidak menyentuh
dunia yang ada kamu di dalamnya, tetapi di sisi lain kamu tetap rajin mengabari
perkembangan hidupmu. Aku tidak ingin mengganti nomor kontakku ataupun menutup social media dimana kamu tak pernah alpa
mengupdate perkembangan cerita cinta
kalian. Yup, aku yang tetap sendiri menjagai setiap kenangan tentang kamu, cerita
tentang kita. Menghadirkan diriku yang ternyata tidak pernah cukup berani untuk
menyatakan perasaanku padamu. Hanya aku yang kuharapkan ada di hidupmu, sejatinya
hanya aku yang meretas rasa ini meskipun 2 bulan yang lalu kamu sudah memberikan
undangan lamaranmu. Aku masih ingin waras, tentu saja aku tidak datang, dengan
alasan akan datang waktu pernikahan saja. Disini hanya ada aku si penggemar rahasiamu
yang masih menggumamkan dan mengaku waras saat menikmati rasa ngilu dikala menyenandungkan lagu yang
saat ini memenuhi ruang coffee shop :
“I
love him
But every day I'm learning
All my life
I've only been pretending
Without me
His world will go on turning
A world that's full of happiness
That I have never known
I love him
I love him
I love him
But only on my own”
(performed by Samantha Barks, ost. Les Misserables)
But every day I'm learning
All my life
I've only been pretending
Without me
His world will go on turning
A world that's full of happiness
That I have never known
I love him
I love him
I love him
But only on my own”
(performed by Samantha Barks, ost. Les Misserables)
Ya, hanya aku
sendiri seorang kerdil yang sampai saat ini tidak memiliki keberanian untuk
mengungkap rasa.
*Kupersembahkan
untuk cinta diam-diamku yang pernah tertinggal di kota Yogyakarta, kota
Balikpapan yang menjadi kota cinta diam-diamku karena sampai saat ini belum ada
jalan untuk bisa mewujudkannya sebagai kota tempat tinggal sesuai impian sejak
5 tahun yang lalu dan teruntuk mereka yang namanya saya pinjam sebagai tokoh
cerita. Selalu ada cinta terselip dalam setiap sudut ingatan yang terbentuk
karena kehadiran kalian*
*Batam, Juli 2014*
No comments:
Post a Comment